Wagub Sulut Janji Tindaklanjuti Tuntutan Seniman Soal Alih Fungsi Taman Budaya

oleh
Suasana aksi “demontraksi” di Taman Budaya,
Suasana aksi “demontraksi” di Taman Budaya, Kamis (16/10/2025), menggugah pemerintah untuk kembali peduli pada keberlangsung kesenian dan kebudayaan daerah. (foto: Denny ‘Dentar’ Taroreh/GEMAS)

MANADO | portalsulutnew.com – Ratusan seniman dan budayawan dari berbagai daerah di Sulawesi Utara berkumpul dalam aksi damai bertajuk “Demontraksi: Taman Budaya Rumah Kami, Kembalikan!” di kawasan Taman Budaya Sulut Rike, Kamis (16/10/2025). Sepanjang siang hingga petang, aksi dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap rencana alih fungsi kawasan kebudayaan tersebut menjadi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Para peserta aksi berasal dari berbagai wilayah seperti Sangihe, Sitaro, Talaud, Bolmong Raya, Bitung, Minahasa, hingga Manado. Mereka adalah komunitas sanggar kampung, gereja, masjid, klenteng, hingga seniman jalanan. Hujan yang mengguyur tak menyurutkan semangat mereka untuk menampilkan karya seni secara langsung di lokasi.

Kendati lahan aksi becek dan kubangan lumpur, para seniman menari, melukis, membaca puisi dan berorasi. Aksi ini bukan demonstrasi biasa, melainkan bentuk protes lewat ekspresi seni yang mereka sebut “demontraksi”. Tujuannya adalah menggugah, bukan menggugat, serta mengajak pemerintah kembali peduli pada keberlangsungan budaya daerah.

Aksi diawali dengan doa dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian musisi Toni Mandak mulai menabuh Sasambo sembari melantun syair-syair tua dari Sangihe. Selanjutnya berturut-turut pembacaan Maklumat Kebudayaan oleh Pitres Sambowadile hingga berbagai atraksi seni dan kebudayaan tampil di panggung aksi.

Latarnya adalah bangunan uzur Taman Budaya, sebuah venue festival yang pada masanya pernah menjadi lokasi pertunjukkan akbar berskala nasional. Kini ruang dalamnya gelap, bahkan panggung utama dalam fasilitas itu sudah ubah fungsi menjadi jemuran baju.

“Kita beraksi dan merayakan kebudayaan dan kesenian yang selalu hidup, kita juga merenung bagaimana kehidupannya itu lagi direngut dan perlahan dimatikan,” ujar koordinator aksi, Aldes Sambalao.

Kekecewaan besar muncul karena pemerintah provinsi, khususnya pejabat Dinas Kebudayaan, tidak hadir di lokasi meski telah diundang. Sebagai gantinya, aparat kepolisian dan intel yang dikirim untuk mengawal aksi justru turut menyatu dengan suasana damai yang tercipta di tengah pertunjukan seni tersebut.

Aksi ini muncul sebagai reaksi atas tidak adanya lagi ruang ekspresi budaya yang memadai di Sulut. Setelah Gedung Kesenian Pingkan Matindas ditutup, kini Taman Budaya pun dialihfungsikan demi alasan ekonomi, karena dinilai tidak berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Gerakan Seniman dan Budayawan Sulut (GEMAS) menyampaikan bahwa pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi kapital telah meminggirkan nilai-nilai budaya. Mereka menilai aset seni dan budaya bukan sekadar properti, melainkan rumah kehidupan yang menopang peradaban.

GEMAS menyayangkan sikap birokrasi yang selama ini tidak peka terhadap urgensi pemajuan kebudayaan. Mereka menilai banyak pemimpin instansi budaya bersikap pasif dan tidak menunjukkan keberpihakan terhadap eksistensi seni dan pelestarian nilai-nilai lokal.

Menjelang sore hari, Wakil Gubernur Sulut, Dr J Victor Mailangkay SH MH bersedia menerima perwakilan seniman di Kantor Gubernur. Pertemuan itu menjadi satu-satunya respons resmi dari pihak pemerintah terhadap tuntutan yang disampaikan.

Delegasi seniman datang dalam kondisi basah kuyup dan lelah, tetapi tetap menjaga sikap hormat saat bertemu dengan jajaran pejabat pemerintah yang menyambut mereka di ruang berpendingin udara dan seragam formal. Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan tuntutan secara langsung melalui puisi, syair Sasambo dan pidato kebudayaan.

Ada 9 poin tuntutan, salah satunya adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara tidak melanjutkan alih fungsi Taman Budaya dan mengembalikan fungsinya sebagai ruang seni yang layak bagi seniman berekspresi dan masyarakat berinteraksi dengan budaya.

Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur menyatakan akan menindaklanjuti tuntutan yang disampaikan. Ia mengatakan akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Gubernur Sulut yang saat ini sedang berada di Jakarta.

“Saya akan bawa ini dalam pembahasan bersama Pak Gubernur setelah beliau kembali dari Jakarta,” ujar Victor Mailangkay di akhir pertemuan.

Meski belum mendapat keputusan konkret, para seniman mengapresiasi kesediaan Wakil Gubernur untuk berdialog. Mereka membawa pulang harapan, sembari tetap mempertahankan sikap kritis dan terus menyuarakan aspirasi lewat aksi budaya.

Setelah pertemuan, para delegasi kembali bergabung dengan massa aksi di lokasi Taman Budaya. Mereka melanjutkan demontraksi: bernyanyi, menari, berpuisi, dan melukis di tengah kondisi lapangan yang becek dan kumuh.

“Upaya ini belum selesai, kami tunggu janji pemerintah provinsi yang membuka ruang dialog dan menyelesaikan masalah seni dan kebudayaan saat ini,” kata para perwakilan GEMAS; Eric Dajoh, Aldes Sambalao, Pitres Sombowadile dan Pnt Yasri ‘Nona’ Badoa, Iverdixon Tinungki, Royke Kumaat, Saul Ering STh, Ferro Kuron, Toni Mandak, Rikson Karundeng, Alfred Pontolondo dan Jane Anastasia Lumi.

Aksi ini diyakini sebagai bentuk perlawanan moral terhadap kebijakan yang mengabaikan nilai-nilai budaya. GEMAS menegaskan akan terus mengawal isu ini dengan cara-cara damai dan bermartabat, sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu sendiri.

“Kami yakini bahwa seni dan budaya bukan penghalang pembangunan, melainkan ruh yang memanusiakan arah pembangunan itu sendiri,” kata Eric Dajoh. (**)

Narahubung GEMAS:
1. Aldes Sambalao (085298173270)
2. Eric Dajoh (082152653695)
3. Alfred Pontolondo (081340232525)

No More Posts Available.

No more pages to load.